Orang Tua
Ayah dari Pangeran
Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana
dari Suku Sakya
dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama
meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal,
beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga
luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh
Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri
Raja Suddhodana.
Riwayat Hidup
Kelahiran
Pangeran Siddharta
dilahirkan pada tahun 563 SM
di Taman Lumbini,
saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal.
Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin
sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha.
Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung
dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh para pertapa di
bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan
menjadi seorang Chakrawartin
(Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha.
Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak
akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas,
karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta
kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang
Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi
pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:
- Orang tua,
- Orang sakit,
- Orang mati,
- Seorang pertapa.
Masa Kecil
Sejak kecil sudah
terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai,
selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan
cantik rupawan di istana
yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3
kolam bunga teratai, yaitu:
- Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
- Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
- Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)
Dalam Usia 7 tahun
Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran
Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran
Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara
yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara.
Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:
- Istana Musim Dingin (Ramma)
- Istana Musim Panas (Suramma)
- Istana Musim Hujan (Subha)
Masa Dewasa
Kata-kata pertapa Asita
membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau
putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa
tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran
Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk
penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti
sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan
duniawi.
Suatu hari Pangeran
Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan
yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu
orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih
dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau
semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang
minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu
dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran
Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua
jawaban tersebut.
Selama 10 tahun lamanya
Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran
Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra
tunggalnya Rahula
lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan
istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk
melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah itu Pangeran
Siddhartha meninggalkan istana,
keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat
membebaskan manusia dari usia tua,
sakit
dan mati.
Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka
Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya.
Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa.
Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di
bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
Masa Pengembaraan
Didalam
pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava
dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama
dan pertapa Udraka Ramputra.
Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum
ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa
dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.
Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha
untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana
yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri
selama enam tahun di Hutan Uruwela,
tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil
pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa
Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di
atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
“
|
Bila
senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu
dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila
senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu
dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.
|
”
|
Nasehat tersebut sangat
berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan
tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang
hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita
bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya
sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang
keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon
bodhi (Asetta)
di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering,
dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan
meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Perasaan bimbang dan
ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi
godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan
dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan
ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di
ufuk timur.
Pertapa Gautama telah
mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha),
tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak
ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari
ke-8 bulan ke-12, menurut kalender
lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat
mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar
Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru
yang berarti bhakti; kuning
mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah
yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih
mengandung arti suci; jingga
berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut.
Penyebaran Ajaran Buddha
Sang Buddha memberi
pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa
Setelah mencapai
Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara
lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni,
Tathagata
('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'),
Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di
hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah
pertama Dhammacakka
Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah
yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya
yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
Buddha Gautama
berkelana menyebarkan Dharma
selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta
kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia
menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.
Sang Buddha dalam
keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala
di Kusinagara, memberikan khotbah
Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana,
486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543
SM).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Siddhartha_Gautama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar