Jumat, 06 Juni 2014

Kehidupan Petapa Gotama


Setelah memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang petapa, Siddhattha Gotama tinggal di Anupiya-ambavana, sebuah hutan mangga (Pali: amba; Sanskerta: āmra; Latin: Magnifera indica) di dekat Kota Anupiyā, tidak jauh dari Sungai Anomā selama tujuh hari pertama. Kemudian pada hari kedelapan Ia pergi sejauh tiga puluh yojana menuju ke Rājagaha (Sanskerta: Rājagṛha), ibu kota Kerajaan Magadha, di India Utara[1]. Di Rājagaha, Ia menolak tawaran Raja Bimbisāra[2] yang akan memberikan separuh kekuasaannya setelah mengetahui identitas Siddhattha Gotama yang merupakan seorang pangeran.

DUA ORANG GURU
Kemudian Petapa Gotama melanjutkan perjalanan-Nya dengan menuruni Bukit Pandava (Pali: Paṇḍava-pabbata; Sanskerta: Pāṇḍavaḥ-parvata) dan menuju ke Kota Vesāli[3], ibu kota negara Konfederasi Vajjī[4], salah satu negara dari 16 Mahājanapada (Negara Besar)[5]. Saat itu Vesāli merupakan tempat tinggal seorang guru agama terkemuka bernama Āḷāra Kālāma (Sanskerta: Ārāḍa Kālāma) bersama dengan para siswanya. Āḷāra Kālāma diyakini telah mencapai beberapa tingkat pencapaian spiritual dari meditasi hingga pada tingkatan konsentrasi yang tinggi yang disebut Jhāna Tataran Kekosongan (Pali: ākiñcaññāyatana jhāna; Sanskerta: ākiṃcanyāyatana dhyāna)[6]. Petapa Gotama memutuskan menjalani hidup suci dengan bergabung dalam persamuhan Āḷāra Kālāma.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Petapa Gotama telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Āḷāra Kālāma bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Mendengar hal tersebut Āḷāra Kālāma berniat menyerahkan setengah pengikutnya kepada petapa Gotama. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Petapa Gotama segera meninggalkan Vesāli dan berjalan menuju negara Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahī, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati bernama Uddaka Rāmaputta (Uddaka, putra Rāma). Kemudian Petapa Gotama pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Rāmaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Petapa Gotama mampu menguasai ilmu dan mencapai hasil yang diajarkan oleh Uddaka Rāmaputta.
Setelah itu Uddaka Rāmaputta pun akhirnya mengajarkan Petapa Gotama ajaran dari Rāma, mendiang ayahnya yang telah mencapai Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan (Pali: nevasaññānāsaññāyatana jhāna; Sanskerta: naivasaṃjñānāsaṃjñāyatana dhyāna)[7] sebagai hasil praktik meditasinya tersebut. Saat itu Uddaka Rāmaputta sendiri belum mencapai tahap konsentrasi dari hasil praktik ajaran mendiang ayahnya tersebut, ia hanya memiliki pengetahuan teori dari praktik yang diwariskan kepadanya.
Dengan keteguhan, ketekunan, konsentrasi dan perhatian murni, Petapa Gotama mempraktikkan teknik meditasi yang diajarkan oleh gurunya tersebut hingga dengan segera Ia berhasil mencapai tingkatan Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Mendengar pencapaian siswanya tersebut, Uddaka Rāmaputta merasa gembira dan memberikan penghormatan kepada Petapa Gotama dengan meminta-Nya untuk memimpin dan menjadi guru dari semua siswa di pertapaannya tersebut termasuk dirinya. Naumn, setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya tersebut, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Petapa Gotama akhirnya meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta.

MENJALANI PRAKTIK PERTAPAAN KERAS
Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta, Petapa Gotama menuju ke Senā-nigāma (kota niaga Senā)[8] di Uruvelā dan memutuskan untuk menetap di Hutan Uruvelā yang berada tidak jauh dari kota niaga tersebut. Selama tinggal di sana, Petapa Gotama pernah dihinggapi oleh rasa takut dan ngeri yang dapat Ia taklukkan.  Di sana pulalah Petapa Gotama bertemu dengan kelompok 5 orang petapa (Pali: pañcavaggiyā; Sanskerta: pañcavargya) yang bernama Koṇḍañña (Aññāta-Kondañña)[9], Bhaddiya, Vappa, Mahānāma, dan Assaji. Kelimanya menemani Petapa Gotama dengan harapan Ia segera menjadi Buddha.
Selama di Hutan Uruvelā, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai padhāna-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.
Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut āsītika dan kāḷa (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).
Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan tiba pada tahap kritis saat Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala yang kebetulan lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama membangunkan-Nya dan anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya.

MENCARI JALAN LAIN UNTUK MENCAPAI PENCERAHAN
Setelah mempraktikkan pertapaan keras selama enam tahun, pada suatu saat di hari pertama bulan mati, di bulan Vesākha, tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis (SEB), Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia belum juga mencapai Pencerahan Sempurna, belum mencapai Pengetahuan Segala Sesuatu (sabbaññuta nāna). Saat merenungkan apakah ada cara lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Ia teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhāna Pertama saat mempraktikkan ānāpāna bhāvanā ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambul/jamblang (Latin: Eugenia Jambolana) sewaktu perayaan bajak tanah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana.[10]
Setelah merenungkan manfaat dari ānāpāna bhāvanā (meditasi memperhatikan nafas), sejak saat itu Petapa Gotama meninggalkan praktik tapa keras dan selalu menuju ke Desa Senāni untuk menerima dana makanan serta makan setiap pagi guna memulihkan kondisi tubuhnya. Dengan demikian Ia bisa melanjutkan pencarian-Nya dengan menggunakan latihan pengembangan ānāpāna bhāvanā .
Melihat Petapa Gotama keluar dari praktik pertapaan keras dan mengubah cara latihan-Nya, kelima petapa, yang selama ini menemani dan melayani Petapa Gotama selama enam tahun dengan pengharapan yang tinggi, mulai meragukan-Nya dan berpikir Ia telah berhenti berjuang dan kembali menikmati kemewahan.
Setelah itu, kelima petapa meninggalkan-Nya dan menuju ke Taman Rusa (Pali: Migadāya, Sanskerta:  Mrigadava), di Isipatana dekat Bārānasī (Benares; Varanasi). Setelah para petapa yang melayani-Nya tersebut meninggalkan diri-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri di Hutan Uruvelā. Ia berdiam dalam suasana yang sangat terpencil, hidup dalam kesunyian total yang mendukung tercapainya kemajuan yang luar biasa dalam pengembangan konsentrasi-Nya.

PERSEMBAHAN DANA MAKANAN DARI SUJĀTĀ
Pada hari kelima belas di bulan Vesākha, tahun 588 SEU (528 SEU) atau tahun 45 SEB, ketika fajar menyingsing, Petapa Gotama membersihkan tubuh-Nya, lalu pergi menuju ke sebatang pohon jawi (Pali: ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India). Ia duduk di bawah pohon itu sambil menunggu waktu untuk pergi menerima dana makanan.
Saat itu pula merupakan waktu bagi masyarakat setempat untuk memberikan penghormatan kepada para dewa, tidak terkecuali Sujātā, seorang dermawati, putri dari Senānī – seorang hartawan di kota itu, yang telah lama melakukan penghormatan kepada dewa penjaga pohon jawi karena telah terpenuhi harapannya untuk memiliki seorang putra.
Sujātā bangun pagi-pagi dan menanak sendiri nasi susu untuk persembahan. Saat menanak nasi susu, ia memerintahkan pembantu perempuannya, Puṇṇa,  untuk membersihkan kaki pohon jawi tempat kediaman dewa penjaga yang selama ini ia berikan penghormatan dan persembahan.
Ketika tiba di pohon jawi yang dimaksud, Puṇṇa melihat Petapa Gotama yang sedang duduk menghadap ke timur, di kaki pohon tersebut. Dengan mengira Petapa Gotama sebagai dewa penjaga pohon yang telah datang, Puṇṇa bergegas pulang dan melaporkan hal itu kepada Sujātā. Mendengar berita tersebut Sujātā sangat bahagia. Ia menempatkan nasi susu yang telah ditanaknya ke dalam sebuah mangkuk emas yang kemudian ia bungkus dengan sehelai kain putih bersih, kemudian ia pergi bersama Puṇṇa menuju pohon jawi di mana Petapa Gotama duduk bermeditasi.
Melihat Petapa Gotama yang dianggapnya sebagai dewa penjaga pohon dengan wajah-Nya yang tampan dan tenang, hati Sujātā meluap gembira. Kemudian ia mendekati Petapa Gotama dengan hormat lalu duduk di tempat yang sesuai, menurunkan mangkuk emas dari kepalanya lalu membukanya dan mempersembahkan nasi susu dengan penuh bakti dan kebahagiaan kepada Petapa Gotama seraya mengungkapkan pengharapannya agar segala cita-cita Petapa Gotama juga terpenuhi seperti keinginannya memiliki putra yang juga telah terpenuhi. Petapa Gotama menerima mangkuk emas berisi nasi susu itu dari tangan Sujātā.
Sekali lagi, Sujātā memberi hormat kepada Petapa Gotama, bangkit dari duduknya, berjalan mundur beberapa langkah, lalu memutar badannya, dan pulang tanpa sedikitpun memikirkan mangkuk emas yang telah ia berikan kepada Petapa Gotama.
Petapa Gotama juga bangkit dari tempat duduk-Nya, membawa mangkuk emas berisi nasi susu tersebut, dan berjalan menuju ke tepi Sungai Nerañjarā. Ia meletakkan mangkuk itu, kemudian membersihkan diri di Arungan Suppatiṭṭhita. Setelah keluar dari arungan tersebut, Ia membawa mangkuk emas itu dan duduk di bawah naungan sebatang pohon. Mula-mula Ia membuat nasi susu itu menjadi empat puluh sembulan cuil dan merenungkan dengan berharap keempat puluh sembilan cuil nasi susu tersebut bisa menjadi zat makanan yang dapat menghidupi tubuh-Nya selama tujuh minggu penuh. Setelah itu, Ia mulai memakannya.
Seusai makan, Ia membawa mangkuk emas itu menuju sungai dan mengucapkan tekad-Nya menjadi Buddha. Ia kemudian mengapungkan mangkuk emas tersebut di Sungai Nerañjarā.

Catatan:
[1] Rājagaha, sekarang bernama Rajgir terletak di negara bagian Bihar di India Utara.
[2] Raja Bimbisāra (tradisi:628 SEU – 556 SEU; konsensus: 558 SEU – 491 SEU) merupakan raja Magadha dari Dinasti  Haryanka. Ia kemudian hari menjadi penyokong kehidupan Sang Buddha dan para bhikkhu.
[3] Vesāli (Sanskerta: Vaiśālī), sekarang bernama Vaishali terletak di negara bagian Bihar di India Utara.
[4] Konfederasi Vajjī merupakan sebuah negara republik yang mayoritas penduduknya terdiri dari tiga kaum atau klan (Pali: gotta; Sanskerta: gotra) yaitu Licchavī, Malla dan Sākya.
[5] 16 Mahājanapada (Negara Besar) yaitu Kāsī, Kosala, Anga, Magadha, Vajji, Mallā, Ceti, Vamsā, Kuru, Pañcāla, Macchā, Sūrasena, Assaka, Avantī, Gandhāra dan Kamboja.
[6] Jhāna ke-7 dari kedelapan jhāna atau jhāna ke-3 dari Arupa jhāna. Jhāna merupakan kondisi pikiran yang mencerap obyek saat meditasi dilakukan.
[7] Jhāna ke-8 dari kedelapan jhāna atau jhāna ke-4 dari Arupa jhāna, merupakan jhāna yang tertinggi.
[8] Senā-nigāma, kota niaga (nigama) prajurit (senā). Juga disebut Senānīnigama (kota niaga Senānī) karena tempat di mana hartawan Senānī tinggal.
[9]  Koṇḍañña (Aññāta-Kondañña atau Yañña) adalah  brahmana yang pernah memastikan bayi Pangeran Siddhattha akan menjadi Buddha. Ia juga disebut Aññā-Kondañña, Kondañña Yang Berpengetahuan Tinggi.
[10] Beberapa sumber mengisahkan setelah Petapa Gotama diambang kematian dan ditolong oleh anak laki-laki gembala, Ia mendengarkan syair dari sekelompok gadis.



Sumber : http://bhagavant.com

Pelepasan Keduniawian Pangeran Siddhattha


Keempat penampakan agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani Sang Pangeran untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana – Rāhula, yang lahir pagi itu.
Sang Pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang bahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia bahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, Pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan.

MENINGGALKAN ISTANA
Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat ke sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur malang-melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; dalam pandangan-Nya, tubuh mereka semua tergeletak seperti tidak ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tidak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia kemudian meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok istri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, Pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodharā dan menimang putra-Nya meskipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodharā terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu Pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, di bulan Āsāḷha, tahun 594 Sebelum Era Umum (tahun 534 SEU secara konsensus sejarawan) atau tahun 51 Sebelum Era Buddhis, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan Sang Pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.

MEMOTONG RAMBUT
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sākya, Koliyā, dan Mallā. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anomā dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis.

Sumber : http://bhagavant.com

Kelahiran dan Kehidupan Istana Pangeran Siddhattha


KELAHIRAN BODHISATTA
Ratu Mahāmāyā, ratu utama dari Raja Suddhodana – raja dari kerajaan suku Sākya (Sokyā, Sakka, Sākiyā), yang sedang mengandung dengan usia kehamilannya sudah mencapai sepuluh bulan, melakukan perjalanan dari Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu), ibu kota Kerajaan Sākya, menuju Devadaha, kota tempat tinggal ayahnya, Raja Añjana – raja dari kerajaan suku Koliyā, untuk melakukan persalinan di sana.
Saat itu, hari bulan purnama, di bulan Vesākha (baca: Wesakha), tahun 623 Sebelum Era Umum (secara konsensus sejarawan awal abad ke-20 menetapkan tahun 563 SEU) atau tahun 80 Sebelum Era Buddhis (SEB).
Dalam perjalanan tersebut, Ratu Mahāmāyā yang juga dikenal dengan nama Māyādevī, bersama rombongan kerajaan melewati Taman Lumbini (sekarang berada di wilayah Nepal), sebuah hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) – tempat wisata yang terletak di antara Kapilavatthu dan Devadaha, di Nepal Selatan. Saat itu semua pohon sāla di hutan tersebut sedang berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Melihat keindahan taman tersebut Ratu Mahāmāyā memutuskan untuk beristirahat dan berjalan-jalan di dalamnya.
Ketika Sang Ratu berjalan-jalan melihat Taman Lumbini, ia menghampiri sebatang dahan pohon sāla yang merunduk dengan bunga yang sedang merekah. Pada saat berdiri dan memegang dahan pohon sāla ia merasakan tanda-tanda kelahiran dan para pelayannya segera membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai. Demikianlah, dengan posisi berdiri dan berpegangan pada dahan pohon sāla tersebut Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang pangeran, Sang Bodhisatta (Calon Buddha).
Pada hari yang sama, lahir pula: Putri Yasodharā yang kelak menjadi istri Sang Pangeran, Pangeran Ānanda yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha, Channa (Sanskerta: Chandaka) yang kelak menjadi kusir Sang Pangeran, Kanthaka yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Pohon Pippala atau disebut Pohon Bodhi (Latin: Ficus Religiosa), dan munculnya empat jambangan harta (Pali: Nidhikumbhi).
Setelah melahirkan, Ratu Mahāmāyā dengan membawa  Sang Pangeran kembali ke Kota Kapilavatthu diiringi oleh para penduduk dari kedua kota, Kapilavatthu dan Devadaha.

TAWA DAN TANGIS PETAPA ASITA KĀLADEVALA
Kelahiran Sang Pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kāladevala yang merupakan guru pribadi raja. Petapa Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana di ibu kota Kapilavatthu untuk melihat pangeran kecil tersebut.
Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Manusia Agung (Mahāpurisa) pada bayi tersebut, ia memberikan penghormatan kepada-Nya. Melihat sang guru kerajaan yang seharusnya mendapatkan penghormatan dari seluruh rakyat kerajaan termasuk raja, tetapi justru memberi penghormatan kepada Sang Pangeran,  Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira karena bahagia sebab Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha. Tetapi kemudian ia menangis karena bersedih sebab usianya yang sudah tua membuat ia tidak bisa menunggu bayi tersebut dewasa hingga menjadi seorang Buddha dan membabarkan ajaran-Nya.

UPACARA PEMBERIAN NAMA
Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Raja Suddhodana mengadakan upacara pembasuhan kepala dan pemberian nama, sesuai dengan tradisi India kuno, dengan mengundang para brahmana (brahmin) terpelajar dan terkemuka. Di antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana yang terkemuka.
Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh Pangeran, tujuh di antara mereka yaitu Rāma, Dhaja, Lakkhanā, Jotimanta (Jotimantī), Subhoja (Bhoja), Suyāma, dan Sudatta memprediksikan dua kemungkinan yaitu bahwa Pangeran akan menjadi seorang Raja Dunia atau akan menjadi seorang Buddha jika Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi petapa.
Tetapi Kondañña (Yañña), salah satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan Kondañña ini akhirnya diterima oleh semua brahmana.
Para brahmana terpelajar tersebut juga memberitahu raja bahwa sang pangeran akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa setelah ia melihat empat penampakan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa.
Setelah itu, para brahmana memberi-Nya nama Siddhattha (Sanskerta: Siddhartha) yang berarti “yang berhasil mencapai tujuannya”, dan dengan nama keluarga Gotama (Sanskerta: Gautama).

WAFATNYA RATU MAHĀMĀYĀ
Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga istri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Mahāpajāpatī Gotamī melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda (Rupananda).
Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri, Pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.
Setelah Ratu Mahāmāyā wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Māyādevaputta (Santusita) di surga Tusita .

PERAYAAN BAJAK TANAH
Tiba waktunya bagi Kota Kapilavatthu mengadakan perayaan musim tahunan yang disebut dengan Perayaan Bajak Tanah. Raja Suddhodana mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang telah berusia beberapa tahun ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut membajak bersama-sama dengan para petani.
Pada saat perayaan yang berlangsung meriah, para pengasuh yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa sangat tertarik dengan jalannya perayaan tersebut. Mereka ingin menyaksikannya dan akhirnya meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon jambul (Latin: Eugenia Jambolana). Dan pada saat itu suasana di sekitar pohon jambul tesebut menjadi tenang dan sepi sehingga sesuai untuk meditasi. Pangeran kecil pun duduk bersila dan melakukan meditasi dengan konsentrasi memperhatikan masuk-keluarnya nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā).
Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka melaporkannya kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Dan mereka pun menemukan Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu Pangeran berada dalam keadaan Jhāna, yaitu keadaan dimana kesadaran sedang berkonsentrasi secara penuh. Melihat hal itu Raja memberi hormat untuk kedua kalinya kepada putranya tersebut.

MASA KECIL DAN PENDIDIKAN
Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan dan dirawat oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya muda-muda, berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap. Jika ada yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka ragam perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak. Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara Kasi. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan teratai birunya, Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam Puṇḍarīka dengan teratai putihnya.
Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedāṅga yang terdiri dari ilmu fonetik (śikṣā), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyākaraṇa), ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan (jyotiṣa).
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruan-Nya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.
Sang Pangeran tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.

WELAS ASIH SANG PANGERAN
Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.
Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut.
Setelah diajukan ke mahkamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”

PERNIKAHAN
Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai Pangeran Siddhattha, berusaha membuat putranya tersebut merasa nyaman dan bahagia. Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri putranya termasuk hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain itu raja juga membangun tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya, yaitu Istana Ramma untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk musim hujan.
Pada saat itu tahun 607 SEU (547 SEU) atau tahun 64 SEB, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran. Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai istri.
Berita pemilihan istri tersebut ditanggapi negatif oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini Raja Suddhodana merasa sangat tersinggung dan menemui putranya serta menceritakan permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan dihadapan semua pangeran dan putri Sakya.
Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi istri-Nya. Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharā, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.

MELIHAT PENAMPAKAN PERTAMA: ORANG TUA
Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.
Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.
Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.

MELIHAT PENAMPAKAN KEDUA: ORANG SAKIT
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.

MELIHAT PENAMPAKAN KETIGA: ORANG MATI
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.

MELIHAT PENAMPAKAN KEEMPAT: PETAPA
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.

LAHIRNYA RĀHULA
Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: “Rāhu jāto, bandhanam jātam” (“Sebuah ikatan telah lahir, sebuah belenggu telah muncul!”). Kelahiran putra-Nya tersebut dianggap merupakan halangan karena kecintaan-Nya kepada keluarga dan anak-Nya yang baru lahir tersebut akan menimbulkan kemelekatan yang akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan. Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama cucunya tersebut dengan nama “Rāhula”, yang berarti  “ikatan”.

Sumber : http://bhagavant.com

Kutipan Dhammapada

Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar, begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
(Dhammapada 182)

Renungan

Kesalahan orang lain mudah sekali di lihat, tetapi kesalahan diri sendiri sangat sulit untuk di sadari, seseorang yang menonjolkan kesalahan orang lain, ibarat menampi dedak, kesalahan sendiri ia sembunyikan, bagai seorang pemburu bersembunyi di balik ranting pohon.

Orang yang selalu mencari-cari kesalahan orang lain, orang yang selalu mengejek orang lain, kekotoran batinnya akan terus bertambah dan semakin jauh dari kondisi batin yang bersih.

(Dhammapada XVIII, 252-253)
Seorang teman bertanya padaku, "mengapa kamu masih beragama buddha? ",
" Karena aku belum menemukan yang lebih baik". Jawabku.
"dari mana kamu katakan agama buddha itu lebih baik ?" tanya temanku lagi.
" saya tidak mengatakan agama buddha lebih baik. Tapi, jika itu persepsimu silahkan saja."

Saya hanya mengatakan bahwa SAYA BELUM MENEMUKAN ADA YANG LEBIH BAIK DARI AJARAN BUDDHA. Selain itu selama ini saya merasa BAHAGIA dengan mengikuti semua petunjuk Sang Buddha. Saya merasa TENANG dan NYAMAN. apa menurutmu itu belum cukup?".

Teman saya ini berpikir dan terdiam.

Buddha tidak pernah menjanjikan hal-hal indah ataupun menjanjikan aku pasti akan ke Surga bila percaya kepadaNya..

Buddha juga tidak pernah berkata" kalau tidak percaya Dia pasti masuk neraka."

Buddha tidak memberikan dongeng yang mengerikan atau menyenangkan supaya aku percaya dan takut terhadapNYa..

Buddha tidak pernah menjanjikan hal-hal yg indah untuk ke depan, bahkan juga tidak bisa mensucikan orang lain..

Bahkan untuk mensucikan diri sendiri pun mengandalkan kita sendiri, tapi kenapa aku masih mau mengikuti ajaranNya ?

karena Buddha, aku tahu :
- kenapa aku menderita.
- kenapa aku cacat.
- kenapa aku bermuka buruk.
- kenapa aku sakit & pendek umur
Semua yg aku alami itu dikarnakan perbuatan ku pada kehidupan sebelumnya.

Dari Buddha, aku mengerti hukum karma dan 4 kesunyataan mulia, bertambah Bijaksana sehingga tidak menyalahkan siapa pun atas penderitaan sendiri.

Oleh Buddhalah aku diajarkan cinta kasih terhadap semua makhluk hidup apapun juga..

Jika suatu saat aku berhasil dalam melewati roda samsara ini sampai akhir hidup, Surga dipersembahan sampai jutaan kalpa pun saya tidak mau, Yang aku inginkan hanyalah bebas dari kelahiran

Tidak ada kelahiran maka tidak ada penderitaan dan kematian..

Apa yg kita tanam itu yg kita petik, apa yg kita lakukan itu yg kita dapatkan(karma),

Itu ajaran yg di ajarkan "Sang Buddha".

INGAT:
Suka cita dan dukacita di tangan kita bukan di tangan siapa-siapa.

AGAMA APA YANG PALING BAIK

Seorang ahli dari kelompok "The Theology Of Freedom" dari Brazil bernama Leonardo Boff bertanya pada Dalai Lama pemimpin umat Buddha dari Tibet, "Yang Mulia, apakah agama terbaik?
"Leonardo Boff menduga bahwa Dalai Lama akan menjawab, "Agama Buddha dari Tibet.
Ternyata sambil tersenyum, Dalai Lama menjawab, "Agama terbaik yaitu agama yg membuat anda menjadi orang yang lebih baik. "

Sambil menutupi rasa malu karna punya dugaan kurang baik tentang Dalai Lama, Leonardo Boff bertanya lagi, "Apakah tanda agama yang membuat kita menjadi lebih baik? "
Jawaban Dalai Lama, "Agama apapun yang bisa membuat anda Lebih welas asih, Lebih berpikiran sehat, Lebih objektif & adil, Lebih menyayangi, Lebih manusiawi, Lebih punya rasa tanggung jawab, Lebih ber-etika.
Agama yang punya kwalitas seperti di atas adalah agama terbaik.

"Leonardo Boff terdiam sejenak & ter-kagum² atas jawaban Dalai Lama yang bijaksana & tidak dapat dibantah.

Selanjutnya, Dalai Lama berkata, "Tidak penting bagiku, Apa agamamu, Tidak peduli anda beragama atau tidak. Yang betul² penting bagi saya adalah perilaku anda didepan kawan² anda, di depan keluarga, lingkungan kerja & dunia.
"Akhirnya, Dalai Lama berkata :
"Jagalah pikiranmu, Karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu, Karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu, Karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu, Karena akan membentuk karaktermu.
Jagalah karaktermu, Karna akan membentuk nasibmu, Jadi nasib mu berawal dari pikiran mu..."

Imlek Bukan Hari Raya Agama Buddha


Jakarta, Indonesia – Pada tanggal 7 Pebruari yang lalu, suku bangsa Tionghoa di seluruh dunia merayakan perayaan Tahun Baru China atau disebut Tahun Baru Imlek. Begitu juga masyarakat Indonesia khususnya dari keturunan etnis Tionghoa juga merayakan Tahun Baru Imlek.
Sudah enam tahun sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 TENTANG HARI TAHUN BARU IMLEK tertanggal 9 April 2002, perayaan Tahun Baru Imlek telah dirayakan secara bebas. Namun sayang, nampaknya masih banyak orang, khususnya di Indonesia, yang salah memahami perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari perayaan keagamaan khususnya menganggap sebagai perayaan dalam agama Buddha.
Kesalahpahaman mengenai anggapan bahwa Imlek adalah perayaan agama Buddha oleh sebagian besar orang, khususnya di Indonesia, didasari oleh kurangnya informasi yang benar dan melekatnya stigma dan sikap penyamarataan bahwa warga keturunan etnis Tionghoa pastilah beragama Buddha, Tao atau Kong Hu Chu, dan agama Buddha adalah agama khusus warga keturunan etnis Tionghoa. Sehingga ketika umat Buddha Indonesia yang sebagian besar adalah berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa merayakan tradisi Tionghoa, dalam hal ini perayaan Imlek, maka sebagian besar orang beranggapan bahwa Imlek adalah hari raya agama Buddha. Padahal tidak demikian.
Secara singkat, Imlek sendiri merupakan suatu perayaan tradisi menyambut musim semi dan berakhirnya musim dingin yang dilakukan oleh suku bangsa Tionghoa di Tiongkok (China), yang dalam perkembangannya ditetapkan sebagai hari penggantian tahun.
Penanggalan Imlek di Tiongkok dimulai sejak tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Oet Tee / Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya. Penanggalan Imlek sebutan asalnya adalah He Lek, yakni Penanggalan Dinasti Ke / Hsia (2205-1766 SM) yang pertama kali mengenalkan penanggalan berdasarkan matahari, dan penetapan tahun barunya bertepatan dengan tibanya musim semi. Dinasti Sing/Ien (1766-1122 SM) menetapkan tahun barunya mengikuti Dinasti He, yakni akhir musim dingin.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa Imlek berawal dari sebuah tradisi menyambut musim semi, dan tidak ada kaitannya dengan perayaan keagamaan manapun. Dengan demikian, Imlek dapat dirayakan secara lintas agama, khususnya mereka yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa.
Salah satu acara dalam perayaan Imlek adalah ”sembahyang” leluhur. Acara ”sembahyang” leluhur ini rupanya diartikan oleh warga keturunan etnis Tionghoa yang beragama non-Buddhis, non-Tao dan non-Kong Hu Chu sebagai acara berdoa memohon rejeki kepada para leluhur sehingga mereka menganggap bahwa hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama mereka. Karenanya, banyak umat Kristen maupun Muslim keturunan etnis Tionghoa yang meninggalkan tradisi perayaan Imlek.
Berbeda dengan umat agama lain, umat Buddha keturunan etnis Tionghoa memandang acara ”sembahyang” leluhur sebagai suatu penghormatan kepada para leluhur dan bukan meminta rejeki kepada para leluhur. Jadi istilah ”sembahyang” yang tepat bukanlah berarti berdoa meminta kepada leluhur, tetapi justru menghormati dan mendoakan para leluhur. Dan menghormati mereka yang patut dihormat adalah salah satu wujud dari pelaksanaan Dhamma (Kebenaran).
Dengan demikian, meskipun Imlek bukan merupakan hari raya agama Buddha namun umat Buddha yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa dapat dengan bebas merayakan Imlek.

Sumber : http://berita.bhagavant.com/2008/02/12/imlek-bukan-hari-raya-agama-buddha.html

Hari Raya Agama Buddha


Hari Raya

Terdapat empat hari raya besar dalam Agama Buddha. Namun satu-satunya yang dikenal luas masyarakat adalah Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus satu-satunya hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur nasional Indonesia setiap tahunnya.

Waisak

Penganut Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sanskerta

Kathina

Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha.

Asadha

Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa dimana Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu(Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai
Empat Kebenaran Mulia( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.

Magha Puja

Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditasbihkan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.

Makna kata SADHU


Sadhu


Seringkali kita mendengar bahkan kita seringkali berucap
kata Sadhu sadhu sadhu saat kebaktian di vihara, 
dirumah ataupun saat diluar dari kebaktian, 
Akan tetapi apakah kita sudah mengerti arti dari kata Sadhu ini? 
Hari ini kami akan coba kupas sedikit mengenai pengertian kata Sadhu ini.

Kata Sadhu terdapat baik dalam bahasa Pali maupun bahasa Sansekerta
Yang berasal dari kata sādh
artinya “tercapailah cita cita atau harapan” 
Dan akar kata sādh ini pun digunakan dalam kata
"Sādhana"
Yang berarti “Penerapan atau pelaksanaan jalan kesucian”

Kata Sadhu sering digunakan sebagai kata seruan
Untuk membuat pengukuhan sebagai tanda dari persetujuan
Yang berarti “Iya” “baiklah” 


Sumber : http://buddhistscript.blogspot.com/2013/05/arti-kata-sadhu.html

Kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia


Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau Jawa, Bhikkhu Narada Thera antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sbb. :
Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha-Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama
Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi. Bapak Maha Upasaka S. Mangunkowotjo, tokoh umat Buddha Jawa-Tengah dan anggota MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.
Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali Agama Buddha di pulau Jawa
pada waktu itu adalah antara lain :
Pandita Josias van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section.
Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.

Sumber : https://www.facebook.com/buddha.school/posts/453771048033467

SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA


Pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhurnya. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh leluhur, Hyang atau Dahyang namanya, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang akan memulai suatu pekerjaan yang penting, misalnya akan berangkat perang, akan memulai mengerjakan tanah dan lain sebagainya.
Mereka juga percaya bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda senjata-senjata dianggap bertuah, sakti dan dijadikan jimat oleh pemiliknya.
Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya agar restunya mudah diperoleh. Dan pertunjukkan wayang, suatu bentuk kebudayaan Indonesia, erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada “HYANG” masih dapat juga kita lihat sampai saat ini.

Jaman Sriwijaya
Sriwijaya bukan saja termashyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara yang dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan Bahasa Indonesia Kuno. Pujangga-Pujangga Agama Buddha yang terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara yang memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.
Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diceritakan oleh seorang sarjana Agama Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Waktu pulang dalam tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci Agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.
Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera didirikan pada kira-kira abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.

Jaman Sailendra di Mataram
Pada tahun 775 hingga tahun 850 di daerah Bagelen dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Jaman ini adalah jaman keemasan bagi Mataram, dan negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha sangat maju. Dan kesenian, terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi.
Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia menghasilkan karya-karya seni yang mengagumkan. Hingga sekarang pun masih dapat kita saksikan betapa indahnya candi-candi yang mereka buat misalnya :
Candi Kalasan. Candi ini terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta dan didirikan di tahun 778 oleh Rakai Panakaran atas perintah Raja Sailendra.
Candi Sewu. Candi ini terletak di Prambanan (perbatasan Solo – Yogya) dan didirikan di tahun 800.
Candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut. Candi-candi ini terletak dekat kota Muntilan dan didirikan di tahun 825 atas perintah Raja Sailendra yang bernama Samarotungga.
Kecuali candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah Raja-Raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah candi Borobudur. Setelah Raja Samarotungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang terus
berdampingan dengan rukun dan damai.

Jaman Majapahit
Di dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1476), Agama Buddha berkembang dengan baik bersama-sama dengan Agama Hindu. Toleransi (saling harga-menghargai) di bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama tidak pernah terjadi.
Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis sebuah buku yang berjudul “Sutasoma”, di mana terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Riwayat Hidup Singkat

Orang Tua
Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat Hidup

Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:
  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.
Masa Kecil
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)
Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:
  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)
Masa Dewasa
Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Masa Pengembaraan
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berarti bhakti; kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung arti suci; jingga berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran Ajaran Buddha
Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.
Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Siddhartha_Gautama