Kamis, 10 Juli 2014

7 Kekaguman Terhadap Ajaran Buddha


Buddha diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahanNya. Inilah alasan mengapa kita, seorang Buddhis, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.

Apa sajakah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan kekaguman kita terhadap ajaran Buddha?

1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas / kasta

Buddha mengajarkan bahwa manusia menjadi baik atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan pula karena percaya atau menganut suatu kepercayaan. Seseorang baik atau jahat karena perbuatannya. Dengan berbuat jahat, seseorang menjadi jahat, dan dengan berbuat baik, seseorang menjadi baik. Setiap orang, apakah ia raja, orang miskin atau pun orang kaya, bisa masuk surga atau neraka, atau mencapai Nibbana, dan hal itu bukan karena kelas atau pun kepercayaannya.

2. Ajaran Buddha mengajarkan belas kasih yang universal

Buddha mengajarkan kita untuk memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada semua makhluk tanpa kecuali. Terhadap manusia, janganlah membedakan bangsa. Terhadap hewan, janganlah membedakan jenisnya. Metta harus dipancarkan kepada semua hewan termasuk yang terkecil seperti serangga.

3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya

Sang Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaranNya. Semua adalah pilihan sendiri, tergantung pada hasil kajian masing-masing individu. Buddha bahkan menyarankan, “Jangan percaya apa yang Kukatakan kepadamu sampai kamu mengkaji dengan kebijaksanaanmu sendiri secara cermat dan teliti apa yang Kukatakan.” Ajaran Buddha tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan kritik-kritik terhadap ajaranNya. Jelaslah bagi kita bahwa ajaran Buddha memberikan kemerdekaan atau kebebasan berpikir.

4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung

Buddha bersabda, “Jadikanlah dirimu pelindung bagi dirimu sendiri. Siapa lagi yang menjadi pelindungmu? Bagi orang yang telah berlatih dengan sempurna, maka dia telah mencapai perlindungan terbaik.”

Ini bisa dibandingkan dengan pepatah bahasa Inggris, “God helps those who help themselves” –Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan dan kemerdekaan, dan menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan.

Buddha tidak pernah mengutuk seseorang ke neraka atau pun menjanjikan seseorang ke surga, atau Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang, sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.” Pilihan untuk mengikuti jalanNya atau tidak, tergantung pada orang yang bersangkutan.

5. Ajaran Buddha adalah ajaran yang suci

Yang dimaksudkan di sini adalah ajaran tanpa pertumpahan darah.

Dari awal perkembangannya sampai sekarang, lebih dari 2500 tahun –ajaran Buddha tidak pernah menyebabkan peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui senjata dan kekerasan.

6. Ajaran Buddha adalah ajaran yang damai dan tanpa monopoli kedudukan

Dalam Dhammapada, Buddha bersabda, “Seseorang yang membuang pikiran untuk menaklukkan orang lain akan merasakan kedamaian.” Pada saat yang sama, Beliau memuji upaya menaklukkan diri sendiri. Beliau berkata, “Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk sejati. Tetapi seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja yaitu dirinya sendiri, dialah pemenang tertinggi.”
Di sini, menaklukkan diri sendiri terletak pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian. Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh orang-orang tidak satu keyakinan atau pun menganggap mereka sebagai orang yang berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak peduli kepercayaan apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Sebaliknya, siapapun yang menganut ajaran Buddha tetapi tidak mempraktikkannya, hanya akan memperoleh sedikit harapan akan pembebasan dan kebahagiaan.

Dalam ajaran Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat mencapai Kebuddhaan.

7. Ajaran Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat

Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu muncul dari suatu sebab. Tiada suatu apapun yang muncul tanpa alasan.

Kebodohan, ketamakan, keuntungan, kedudukan, pujian, kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab.

Akibat-akibat baik muncul dari keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan jahat.

Prinsip-prinsip sebab dan akibat; suatu kondisi yang pada mulanya sebagai akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat ajaran Buddha tidak ketinggalan zaman daripada kepercayaan-kepercayaan lain di dunia.

“Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya”

Sumber : https://www.facebook.com/kesaksianbuddhis




Be proud of being Buddhist



Karena takut dianggap sebagai orang yang tidak memiliki toleransi terhadap para penganut agama lain, karena takut dianggap kaum fanatis-eksklusif, beberapa orang malu dan ragu untuk mengatakan "Saya penganut ajaran Buddha, saya beragama Buddha".

Menjadi seorang Buddhist tidak berarti membuat seseorang menjadi seorang fanatis membuta dan kehilangan sifat toleransi dan cinta kedamaian. Jika ajaran Buddha menekankan kedamaian (santa), kehidupan tanpa pertengkaran (avivādamānā), persatuan (samagga) dan cintakasih universal tanpa dibatasi ras, suku maupun agama (metta), bagaimana mungkin seorang Buddhist sejati tidak memiliki sikap toleransi dan kasih kepada orang lain termasuk para penganut agama lain?

Be proud of being Buddhists, those who trully follow the teaching of the Buddha!!

by Santacitto Novice

Sumber : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=676765072360112&set=a.156642614372363.24051.101863893183569&type=1&theater

Karma

Kamma(bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sansekerta) artinya perbuatan. Kamma atau Karma adalah suatu perbuatan yang dapat membuahkan hasil, dimana perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan jahat juga akan menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pembuatnya.
Semua perbuatan yang dilakukan atau disertai dengan kehendak berbuat (cetena) merupakan Kamma. Kehendak dapat berarti keinginan, kemauan, kesengajaan atau adannya rencana berbuat.
Sang Buddha bersabda: “O, Bhikkhu! Kehendak berbuat (cetena) itulah yang kami namakan Kamma.” (Anguttara Nikaya III : 415)

Perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak dengan sendirinya tidak tergolong Kamma yang dapat menimbulkan akibat atau hasil perbuatan:
1.      Perbuatan yang netral murni, misalnya duduk, berdiri, berjalan, tidur, melihat dan lain-lain menurut keadaan yang wajar.
2.      Perbuatan-perbuatan yang kelihatan baik atau jahat, namun tidak disertai kehendak. Misalnya:
  • Waktu berjalan, ada semut yang terinjak mati
  • Tanpa disadari, uangnya jatuh dan dipungut oleh seorang cacat yang amat memerlukan uang

Semua perbuatan akan menimbulkan akibat dan semua akibat akan menimbulkan hasil perbuatan. Akibat perbuatan disebut kamma-vipaka, dan hasil perbuatan disebut kamma-phala.
Dari segi perbuatan atau salurannya, kamma dibedakan atas:
Mano-kamma = perbuatan pikiran
Vaci-kamma = perbuatan kata-kata
Kaya-kamma = perbuatan badan jasmani
Sedangkan menurut sifatnya, kamma dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.      Kusala-kamma = perbuatan baik
2.      Akusala-kamma = perbuatan jahat
Kusala-kamma berakar dari kusala-mula, 3 akar kebaikan:
Alobha : tidak tamak
Adosa : tidak membenci
Amoha : tidak bodoh
Akusala-kamma berasal dari akusala-mula, 3 akar kejahatan:
Lobha : ketamakan
Dosa : kebencian
Moha : kebodohan
Jadi Hukum Karma adalah hukum perbuatan yang akan menimbulkan akibat dan hasil perbuatan (kamma-vipaka dan kamma-phala), Hukum kamma bersifat mengikuti setiap Kamma, mutlak-pasti dan harmonis-adil.

Klasifikasi Kamma:
·         Kamma menurut fungsinya
·         Kamma menurut kekuatannya
·         Kamma menurut waktunya.

PEMBAGIAN KARMA MENURUT FUNGISNYA:
1.      Janaka-kamma: Kamma yang berfungsi menyebabkan timbulnya suatu syarat untuk kelahiran makhluk-makhluk.
Tugas dari Janaka-kamma adalah melahirkan Nama-Rupa:
Janaka-kamma melaksanakan Punarbahava, yaitu kelahiran kembali dari makhluk-makhluk di 31 alam kehidupan (lapisan kesadaran) sebelum mereka mencapai pembebasan Arahat.
2.      Upatthambaka-kamma: Kamma yang mendorong terpeliharannya suatu akibat dari suatu sebab yang telah timbul. Mendorong kusala atau akusala-kamma yang telah terjadi agar tetap berlaku.
3.      Upapilaka-kamma: Kamma yang menekan kamma yang berlawanan agar mencapai kesetimbangan dan tidak membuahkan hasil. Kamma ini menyelaraskan hubungan antara kusala-kamma dengan akusala-kamma.
4.      Upaghataka-kamma: Kamma yang meniadakan atau menghancurkan suatu akibat yang telah timbul, dan menyuburkan kamma yang baru. Maksudnya kamma yang baru itu adalah garuka-kamma, sehingga akibatnya mengatasi semua kamma yang lain.

PEMBAGIAN KAMMA MENURUT KEKUATANNYA:
Garuka Kamma
Adalah kamma yang berat dan bermutu. Akibat dari kamma ini dapt timbul dalm atu kehidupan, maupun kehidupan berikutnya. Garuka kamma terdiri dari:
a. Akusala-garuka-kamma
b. Kusala-garuka-kamma
Akusala-garuka-kamma
Kamma yang berat terdiri dari 2 kelompok, yaitu:
1.      Niyatamicchaditthi, yaitu pandangan yang salah. Maksudnya memandang yang salah adalah benar dan yang benar diartikan salah. Terdapat 10 pandangan hidup yang salah:
1.      Tidak murah hati. Tidak pemaaf atau tidak suka menolong kesukaran orang/makhluk lain.
2.      Tidak mengerti faedah berdana. Mengangap bahwa berdana adalah suatu kebodohan yagn tidak ada hasilnya.
3.      Tidak memberikan hadiah pada tamu. Tamu adalah seorang atau sekelompok orang yang kedatangannya membahagiakan kita atau yang kedatangannya kita harapkan. Memberikan hadiah pada tamu yang dewasa ini di kota terutama berarti memberikan minuman.
4.      Perbuatan baik atau perbuatan jahat dianggap tidak ada hasil atau akibatnya. Seorang yang yakin perbuatan baik akan membawa hasil tentu berusaha menambah kebaikan pada setiap kesempatan di manapun ia berada, dan sebaliknya berusaha menghndari perbuatan yang salah setiap kali akan dilakukan.
5.      Tidak percaya pada dunia ini, tidak percaya akan kebenaran Dhamma, hukum-hukum kesunyataan; yaitu kelompok manusia yang penuih dengan kekecewaan, kebencian, ketamakan, dan kebodohan.
6.      Tidak percaya pada dunia yang akan datang; tidak percaya akan tumimbal lahir, kehidupan yang akan datang.
7.      Tidak mengerti fungsi seorang ibu, dan
8.      Tidak mengerti fungsi ayah, menganggap tidak membawa akibat apapun yang dilakukan pada mereka.
9.      Tidak mempercayai adanya makhluk yang mati atau yang dilahirkan kembali.
10.  Tidak melakukan disiplin menyendiri (khusus untuk para Buddha/Arahat)
2.      Pancanantariya-kamma, yaitu 5 perbuatan durhaka.
1.      Membunuh ayah
2.      Membunuh ibu
3.      Membunuh seorang Arahat
4.      Melukai seorang Buddha
5.      Memecah belah Sangha
Mereka yang melakukan salah satu dari 5 perbuatan durhaka di atas, setelah meninggal akan lahir di alam Apaya (duka/rendah), yaitu alam neraka, binatang, setan dan raksasa.
Kusala-garuka-kamma
Adalah perbuatan “bermutu”, yaitu dengan bermeditasi , hingga mencapai tingkat kesadaran jhana. Ia akan dilahirkan di alam sorga atau lapisan kesadaran yang tinggi, yang berbentuk atau tanpa bentuk (16 rupa-bhumi dan 4 arupa-bhumi)

2.      Asanna-kamma
Kamma yang dilakukan sebelum saat mati seseorang, baik lahir maupun batin, terutama dengan pikiran. Misalnya memikirkan perbuatan baik atau jahat yang telah dilakukan di masa lalu. Jadi mempunyai pikiran yang baik di kala akan meninggal adalah merupakan hal yang penting, yang akan menentukan bentuk kehidupan berikutnya menjadi lebh baik. Asanna-kamma berlaku apabila tidak melakukan garuka-kamma.

3.      Acinna-kamma atau Bahula-kamma
Apabila seorang dalam hidupnya tidak melakukan garuka-kamma dan di saat akan meninggal tidak pula melakukan Asanna-kamma, maka yang menentukan corak kelahiran berikutnya adalah acinna-kamma. Acinna-kamma atau Bahula-kamma adalah kamma kebiasaan, baik dengan kata-kata, perbuatan maupun pikiran. Walaupun seorang hanya sekali berbuat baik, namun karena selalu diingat, menimbulkan kebahagiaan hingga menjelang kematiannya, hal ini akan menyebabkan kelahiran berikutnya mnjadi baik. Demikian juga seorang yang hanya seklain bernuat jahat, karena selalu diingat menimbulkan kegelisahan hingga akhir hidupnya, sehingga akan lahir di alam yang tidak baik. Oleh karena itu apabila kita pernah berbuat jahat, maka perbuatan jahat itu harus dilupakan; demikian pula sebaliknya kalau kita pernah berbuat baik, perbuatan itu perlu selalu diingat.


4.      Katatta-kamma
Bila seorang tidak berbuat Garuka-kamma, Asanna-kamma atau Acinna-kamma, maka yang menentukan bentuk kehidupan berikutnya adalah katatta-kamma, yaitu kamma yang ringan-ringan, yang pernah diperbuat dalam hidupnya.

Sumber : http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html

Jumat, 06 Juni 2014

Kehidupan Petapa Gotama


Setelah memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang petapa, Siddhattha Gotama tinggal di Anupiya-ambavana, sebuah hutan mangga (Pali: amba; Sanskerta: āmra; Latin: Magnifera indica) di dekat Kota Anupiyā, tidak jauh dari Sungai Anomā selama tujuh hari pertama. Kemudian pada hari kedelapan Ia pergi sejauh tiga puluh yojana menuju ke Rājagaha (Sanskerta: Rājagṛha), ibu kota Kerajaan Magadha, di India Utara[1]. Di Rājagaha, Ia menolak tawaran Raja Bimbisāra[2] yang akan memberikan separuh kekuasaannya setelah mengetahui identitas Siddhattha Gotama yang merupakan seorang pangeran.

DUA ORANG GURU
Kemudian Petapa Gotama melanjutkan perjalanan-Nya dengan menuruni Bukit Pandava (Pali: Paṇḍava-pabbata; Sanskerta: Pāṇḍavaḥ-parvata) dan menuju ke Kota Vesāli[3], ibu kota negara Konfederasi Vajjī[4], salah satu negara dari 16 Mahājanapada (Negara Besar)[5]. Saat itu Vesāli merupakan tempat tinggal seorang guru agama terkemuka bernama Āḷāra Kālāma (Sanskerta: Ārāḍa Kālāma) bersama dengan para siswanya. Āḷāra Kālāma diyakini telah mencapai beberapa tingkat pencapaian spiritual dari meditasi hingga pada tingkatan konsentrasi yang tinggi yang disebut Jhāna Tataran Kekosongan (Pali: ākiñcaññāyatana jhāna; Sanskerta: ākiṃcanyāyatana dhyāna)[6]. Petapa Gotama memutuskan menjalani hidup suci dengan bergabung dalam persamuhan Āḷāra Kālāma.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Petapa Gotama telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Āḷāra Kālāma bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Mendengar hal tersebut Āḷāra Kālāma berniat menyerahkan setengah pengikutnya kepada petapa Gotama. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Petapa Gotama segera meninggalkan Vesāli dan berjalan menuju negara Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahī, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati bernama Uddaka Rāmaputta (Uddaka, putra Rāma). Kemudian Petapa Gotama pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Rāmaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Petapa Gotama mampu menguasai ilmu dan mencapai hasil yang diajarkan oleh Uddaka Rāmaputta.
Setelah itu Uddaka Rāmaputta pun akhirnya mengajarkan Petapa Gotama ajaran dari Rāma, mendiang ayahnya yang telah mencapai Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan (Pali: nevasaññānāsaññāyatana jhāna; Sanskerta: naivasaṃjñānāsaṃjñāyatana dhyāna)[7] sebagai hasil praktik meditasinya tersebut. Saat itu Uddaka Rāmaputta sendiri belum mencapai tahap konsentrasi dari hasil praktik ajaran mendiang ayahnya tersebut, ia hanya memiliki pengetahuan teori dari praktik yang diwariskan kepadanya.
Dengan keteguhan, ketekunan, konsentrasi dan perhatian murni, Petapa Gotama mempraktikkan teknik meditasi yang diajarkan oleh gurunya tersebut hingga dengan segera Ia berhasil mencapai tingkatan Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Mendengar pencapaian siswanya tersebut, Uddaka Rāmaputta merasa gembira dan memberikan penghormatan kepada Petapa Gotama dengan meminta-Nya untuk memimpin dan menjadi guru dari semua siswa di pertapaannya tersebut termasuk dirinya. Naumn, setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya tersebut, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Petapa Gotama akhirnya meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta.

MENJALANI PRAKTIK PERTAPAAN KERAS
Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta, Petapa Gotama menuju ke Senā-nigāma (kota niaga Senā)[8] di Uruvelā dan memutuskan untuk menetap di Hutan Uruvelā yang berada tidak jauh dari kota niaga tersebut. Selama tinggal di sana, Petapa Gotama pernah dihinggapi oleh rasa takut dan ngeri yang dapat Ia taklukkan.  Di sana pulalah Petapa Gotama bertemu dengan kelompok 5 orang petapa (Pali: pañcavaggiyā; Sanskerta: pañcavargya) yang bernama Koṇḍañña (Aññāta-Kondañña)[9], Bhaddiya, Vappa, Mahānāma, dan Assaji. Kelimanya menemani Petapa Gotama dengan harapan Ia segera menjadi Buddha.
Selama di Hutan Uruvelā, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai padhāna-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.
Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut āsītika dan kāḷa (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).
Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan tiba pada tahap kritis saat Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala yang kebetulan lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama membangunkan-Nya dan anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya.

MENCARI JALAN LAIN UNTUK MENCAPAI PENCERAHAN
Setelah mempraktikkan pertapaan keras selama enam tahun, pada suatu saat di hari pertama bulan mati, di bulan Vesākha, tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis (SEB), Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia belum juga mencapai Pencerahan Sempurna, belum mencapai Pengetahuan Segala Sesuatu (sabbaññuta nāna). Saat merenungkan apakah ada cara lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Ia teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhāna Pertama saat mempraktikkan ānāpāna bhāvanā ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambul/jamblang (Latin: Eugenia Jambolana) sewaktu perayaan bajak tanah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana.[10]
Setelah merenungkan manfaat dari ānāpāna bhāvanā (meditasi memperhatikan nafas), sejak saat itu Petapa Gotama meninggalkan praktik tapa keras dan selalu menuju ke Desa Senāni untuk menerima dana makanan serta makan setiap pagi guna memulihkan kondisi tubuhnya. Dengan demikian Ia bisa melanjutkan pencarian-Nya dengan menggunakan latihan pengembangan ānāpāna bhāvanā .
Melihat Petapa Gotama keluar dari praktik pertapaan keras dan mengubah cara latihan-Nya, kelima petapa, yang selama ini menemani dan melayani Petapa Gotama selama enam tahun dengan pengharapan yang tinggi, mulai meragukan-Nya dan berpikir Ia telah berhenti berjuang dan kembali menikmati kemewahan.
Setelah itu, kelima petapa meninggalkan-Nya dan menuju ke Taman Rusa (Pali: Migadāya, Sanskerta:  Mrigadava), di Isipatana dekat Bārānasī (Benares; Varanasi). Setelah para petapa yang melayani-Nya tersebut meninggalkan diri-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri di Hutan Uruvelā. Ia berdiam dalam suasana yang sangat terpencil, hidup dalam kesunyian total yang mendukung tercapainya kemajuan yang luar biasa dalam pengembangan konsentrasi-Nya.

PERSEMBAHAN DANA MAKANAN DARI SUJĀTĀ
Pada hari kelima belas di bulan Vesākha, tahun 588 SEU (528 SEU) atau tahun 45 SEB, ketika fajar menyingsing, Petapa Gotama membersihkan tubuh-Nya, lalu pergi menuju ke sebatang pohon jawi (Pali: ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India). Ia duduk di bawah pohon itu sambil menunggu waktu untuk pergi menerima dana makanan.
Saat itu pula merupakan waktu bagi masyarakat setempat untuk memberikan penghormatan kepada para dewa, tidak terkecuali Sujātā, seorang dermawati, putri dari Senānī – seorang hartawan di kota itu, yang telah lama melakukan penghormatan kepada dewa penjaga pohon jawi karena telah terpenuhi harapannya untuk memiliki seorang putra.
Sujātā bangun pagi-pagi dan menanak sendiri nasi susu untuk persembahan. Saat menanak nasi susu, ia memerintahkan pembantu perempuannya, Puṇṇa,  untuk membersihkan kaki pohon jawi tempat kediaman dewa penjaga yang selama ini ia berikan penghormatan dan persembahan.
Ketika tiba di pohon jawi yang dimaksud, Puṇṇa melihat Petapa Gotama yang sedang duduk menghadap ke timur, di kaki pohon tersebut. Dengan mengira Petapa Gotama sebagai dewa penjaga pohon yang telah datang, Puṇṇa bergegas pulang dan melaporkan hal itu kepada Sujātā. Mendengar berita tersebut Sujātā sangat bahagia. Ia menempatkan nasi susu yang telah ditanaknya ke dalam sebuah mangkuk emas yang kemudian ia bungkus dengan sehelai kain putih bersih, kemudian ia pergi bersama Puṇṇa menuju pohon jawi di mana Petapa Gotama duduk bermeditasi.
Melihat Petapa Gotama yang dianggapnya sebagai dewa penjaga pohon dengan wajah-Nya yang tampan dan tenang, hati Sujātā meluap gembira. Kemudian ia mendekati Petapa Gotama dengan hormat lalu duduk di tempat yang sesuai, menurunkan mangkuk emas dari kepalanya lalu membukanya dan mempersembahkan nasi susu dengan penuh bakti dan kebahagiaan kepada Petapa Gotama seraya mengungkapkan pengharapannya agar segala cita-cita Petapa Gotama juga terpenuhi seperti keinginannya memiliki putra yang juga telah terpenuhi. Petapa Gotama menerima mangkuk emas berisi nasi susu itu dari tangan Sujātā.
Sekali lagi, Sujātā memberi hormat kepada Petapa Gotama, bangkit dari duduknya, berjalan mundur beberapa langkah, lalu memutar badannya, dan pulang tanpa sedikitpun memikirkan mangkuk emas yang telah ia berikan kepada Petapa Gotama.
Petapa Gotama juga bangkit dari tempat duduk-Nya, membawa mangkuk emas berisi nasi susu tersebut, dan berjalan menuju ke tepi Sungai Nerañjarā. Ia meletakkan mangkuk itu, kemudian membersihkan diri di Arungan Suppatiṭṭhita. Setelah keluar dari arungan tersebut, Ia membawa mangkuk emas itu dan duduk di bawah naungan sebatang pohon. Mula-mula Ia membuat nasi susu itu menjadi empat puluh sembulan cuil dan merenungkan dengan berharap keempat puluh sembilan cuil nasi susu tersebut bisa menjadi zat makanan yang dapat menghidupi tubuh-Nya selama tujuh minggu penuh. Setelah itu, Ia mulai memakannya.
Seusai makan, Ia membawa mangkuk emas itu menuju sungai dan mengucapkan tekad-Nya menjadi Buddha. Ia kemudian mengapungkan mangkuk emas tersebut di Sungai Nerañjarā.

Catatan:
[1] Rājagaha, sekarang bernama Rajgir terletak di negara bagian Bihar di India Utara.
[2] Raja Bimbisāra (tradisi:628 SEU – 556 SEU; konsensus: 558 SEU – 491 SEU) merupakan raja Magadha dari Dinasti  Haryanka. Ia kemudian hari menjadi penyokong kehidupan Sang Buddha dan para bhikkhu.
[3] Vesāli (Sanskerta: Vaiśālī), sekarang bernama Vaishali terletak di negara bagian Bihar di India Utara.
[4] Konfederasi Vajjī merupakan sebuah negara republik yang mayoritas penduduknya terdiri dari tiga kaum atau klan (Pali: gotta; Sanskerta: gotra) yaitu Licchavī, Malla dan Sākya.
[5] 16 Mahājanapada (Negara Besar) yaitu Kāsī, Kosala, Anga, Magadha, Vajji, Mallā, Ceti, Vamsā, Kuru, Pañcāla, Macchā, Sūrasena, Assaka, Avantī, Gandhāra dan Kamboja.
[6] Jhāna ke-7 dari kedelapan jhāna atau jhāna ke-3 dari Arupa jhāna. Jhāna merupakan kondisi pikiran yang mencerap obyek saat meditasi dilakukan.
[7] Jhāna ke-8 dari kedelapan jhāna atau jhāna ke-4 dari Arupa jhāna, merupakan jhāna yang tertinggi.
[8] Senā-nigāma, kota niaga (nigama) prajurit (senā). Juga disebut Senānīnigama (kota niaga Senānī) karena tempat di mana hartawan Senānī tinggal.
[9]  Koṇḍañña (Aññāta-Kondañña atau Yañña) adalah  brahmana yang pernah memastikan bayi Pangeran Siddhattha akan menjadi Buddha. Ia juga disebut Aññā-Kondañña, Kondañña Yang Berpengetahuan Tinggi.
[10] Beberapa sumber mengisahkan setelah Petapa Gotama diambang kematian dan ditolong oleh anak laki-laki gembala, Ia mendengarkan syair dari sekelompok gadis.



Sumber : http://bhagavant.com

Pelepasan Keduniawian Pangeran Siddhattha


Keempat penampakan agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani Sang Pangeran untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana – Rāhula, yang lahir pagi itu.
Sang Pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang bahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia bahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, Pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan.

MENINGGALKAN ISTANA
Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat ke sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur malang-melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; dalam pandangan-Nya, tubuh mereka semua tergeletak seperti tidak ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tidak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia kemudian meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok istri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, Pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodharā dan menimang putra-Nya meskipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodharā terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu Pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, di bulan Āsāḷha, tahun 594 Sebelum Era Umum (tahun 534 SEU secara konsensus sejarawan) atau tahun 51 Sebelum Era Buddhis, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan Sang Pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.

MEMOTONG RAMBUT
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sākya, Koliyā, dan Mallā. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anomā dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis.

Sumber : http://bhagavant.com

Kelahiran dan Kehidupan Istana Pangeran Siddhattha


KELAHIRAN BODHISATTA
Ratu Mahāmāyā, ratu utama dari Raja Suddhodana – raja dari kerajaan suku Sākya (Sokyā, Sakka, Sākiyā), yang sedang mengandung dengan usia kehamilannya sudah mencapai sepuluh bulan, melakukan perjalanan dari Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu), ibu kota Kerajaan Sākya, menuju Devadaha, kota tempat tinggal ayahnya, Raja Añjana – raja dari kerajaan suku Koliyā, untuk melakukan persalinan di sana.
Saat itu, hari bulan purnama, di bulan Vesākha (baca: Wesakha), tahun 623 Sebelum Era Umum (secara konsensus sejarawan awal abad ke-20 menetapkan tahun 563 SEU) atau tahun 80 Sebelum Era Buddhis (SEB).
Dalam perjalanan tersebut, Ratu Mahāmāyā yang juga dikenal dengan nama Māyādevī, bersama rombongan kerajaan melewati Taman Lumbini (sekarang berada di wilayah Nepal), sebuah hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) – tempat wisata yang terletak di antara Kapilavatthu dan Devadaha, di Nepal Selatan. Saat itu semua pohon sāla di hutan tersebut sedang berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Melihat keindahan taman tersebut Ratu Mahāmāyā memutuskan untuk beristirahat dan berjalan-jalan di dalamnya.
Ketika Sang Ratu berjalan-jalan melihat Taman Lumbini, ia menghampiri sebatang dahan pohon sāla yang merunduk dengan bunga yang sedang merekah. Pada saat berdiri dan memegang dahan pohon sāla ia merasakan tanda-tanda kelahiran dan para pelayannya segera membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai. Demikianlah, dengan posisi berdiri dan berpegangan pada dahan pohon sāla tersebut Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang pangeran, Sang Bodhisatta (Calon Buddha).
Pada hari yang sama, lahir pula: Putri Yasodharā yang kelak menjadi istri Sang Pangeran, Pangeran Ānanda yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha, Channa (Sanskerta: Chandaka) yang kelak menjadi kusir Sang Pangeran, Kanthaka yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Pohon Pippala atau disebut Pohon Bodhi (Latin: Ficus Religiosa), dan munculnya empat jambangan harta (Pali: Nidhikumbhi).
Setelah melahirkan, Ratu Mahāmāyā dengan membawa  Sang Pangeran kembali ke Kota Kapilavatthu diiringi oleh para penduduk dari kedua kota, Kapilavatthu dan Devadaha.

TAWA DAN TANGIS PETAPA ASITA KĀLADEVALA
Kelahiran Sang Pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kāladevala yang merupakan guru pribadi raja. Petapa Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana di ibu kota Kapilavatthu untuk melihat pangeran kecil tersebut.
Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Manusia Agung (Mahāpurisa) pada bayi tersebut, ia memberikan penghormatan kepada-Nya. Melihat sang guru kerajaan yang seharusnya mendapatkan penghormatan dari seluruh rakyat kerajaan termasuk raja, tetapi justru memberi penghormatan kepada Sang Pangeran,  Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira karena bahagia sebab Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha. Tetapi kemudian ia menangis karena bersedih sebab usianya yang sudah tua membuat ia tidak bisa menunggu bayi tersebut dewasa hingga menjadi seorang Buddha dan membabarkan ajaran-Nya.

UPACARA PEMBERIAN NAMA
Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Raja Suddhodana mengadakan upacara pembasuhan kepala dan pemberian nama, sesuai dengan tradisi India kuno, dengan mengundang para brahmana (brahmin) terpelajar dan terkemuka. Di antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana yang terkemuka.
Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh Pangeran, tujuh di antara mereka yaitu Rāma, Dhaja, Lakkhanā, Jotimanta (Jotimantī), Subhoja (Bhoja), Suyāma, dan Sudatta memprediksikan dua kemungkinan yaitu bahwa Pangeran akan menjadi seorang Raja Dunia atau akan menjadi seorang Buddha jika Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi petapa.
Tetapi Kondañña (Yañña), salah satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan Kondañña ini akhirnya diterima oleh semua brahmana.
Para brahmana terpelajar tersebut juga memberitahu raja bahwa sang pangeran akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa setelah ia melihat empat penampakan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa.
Setelah itu, para brahmana memberi-Nya nama Siddhattha (Sanskerta: Siddhartha) yang berarti “yang berhasil mencapai tujuannya”, dan dengan nama keluarga Gotama (Sanskerta: Gautama).

WAFATNYA RATU MAHĀMĀYĀ
Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga istri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Mahāpajāpatī Gotamī melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda (Rupananda).
Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri, Pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.
Setelah Ratu Mahāmāyā wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Māyādevaputta (Santusita) di surga Tusita .

PERAYAAN BAJAK TANAH
Tiba waktunya bagi Kota Kapilavatthu mengadakan perayaan musim tahunan yang disebut dengan Perayaan Bajak Tanah. Raja Suddhodana mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang telah berusia beberapa tahun ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut membajak bersama-sama dengan para petani.
Pada saat perayaan yang berlangsung meriah, para pengasuh yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa sangat tertarik dengan jalannya perayaan tersebut. Mereka ingin menyaksikannya dan akhirnya meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon jambul (Latin: Eugenia Jambolana). Dan pada saat itu suasana di sekitar pohon jambul tesebut menjadi tenang dan sepi sehingga sesuai untuk meditasi. Pangeran kecil pun duduk bersila dan melakukan meditasi dengan konsentrasi memperhatikan masuk-keluarnya nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā).
Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka melaporkannya kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Dan mereka pun menemukan Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu Pangeran berada dalam keadaan Jhāna, yaitu keadaan dimana kesadaran sedang berkonsentrasi secara penuh. Melihat hal itu Raja memberi hormat untuk kedua kalinya kepada putranya tersebut.

MASA KECIL DAN PENDIDIKAN
Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan dan dirawat oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya muda-muda, berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap. Jika ada yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka ragam perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak. Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara Kasi. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan teratai birunya, Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam Puṇḍarīka dengan teratai putihnya.
Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedāṅga yang terdiri dari ilmu fonetik (śikṣā), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyākaraṇa), ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan (jyotiṣa).
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruan-Nya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.
Sang Pangeran tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.

WELAS ASIH SANG PANGERAN
Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.
Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut.
Setelah diajukan ke mahkamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”

PERNIKAHAN
Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai Pangeran Siddhattha, berusaha membuat putranya tersebut merasa nyaman dan bahagia. Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri putranya termasuk hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain itu raja juga membangun tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya, yaitu Istana Ramma untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk musim hujan.
Pada saat itu tahun 607 SEU (547 SEU) atau tahun 64 SEB, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran. Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai istri.
Berita pemilihan istri tersebut ditanggapi negatif oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini Raja Suddhodana merasa sangat tersinggung dan menemui putranya serta menceritakan permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan dihadapan semua pangeran dan putri Sakya.
Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi istri-Nya. Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharā, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.

MELIHAT PENAMPAKAN PERTAMA: ORANG TUA
Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.
Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.
Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.

MELIHAT PENAMPAKAN KEDUA: ORANG SAKIT
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.

MELIHAT PENAMPAKAN KETIGA: ORANG MATI
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.

MELIHAT PENAMPAKAN KEEMPAT: PETAPA
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.

LAHIRNYA RĀHULA
Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: “Rāhu jāto, bandhanam jātam” (“Sebuah ikatan telah lahir, sebuah belenggu telah muncul!”). Kelahiran putra-Nya tersebut dianggap merupakan halangan karena kecintaan-Nya kepada keluarga dan anak-Nya yang baru lahir tersebut akan menimbulkan kemelekatan yang akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan. Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama cucunya tersebut dengan nama “Rāhula”, yang berarti  “ikatan”.

Sumber : http://bhagavant.com

Kutipan Dhammapada

Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar, begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
(Dhammapada 182)